Jumat, 22 April 2011

Jepang Buang Air Radioaktif ke Laut


TOKYO, KOMPAS.com - Pemerintah Jepang membuang lebih dari 10.000 ton air yang terkontaminasi radiasi dalam level rendah ke Samudra Pasifik, Senin (4/4). Hal ini dilakukan untuk menstabilkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi yang bermasalah.
Pemerintah Jepang bersama Tokyo Electric Power Company (Tepco), operator PLTN, selama ini berjuang mencegah kebocoran radiasi dengan menyiramkan ribuan ton air untuk mendinginkan teras reaktor yang terlalu panas. Upaya ini membuat air yang disiramkan berubah menjadi sangat radioaktif.
Limpahan air dengan radioaktivitas tinggi ini menghalangi petugas mereparasi reaktor, bahkan telah bocor ke tanah dan laut. Karena itu, Tepco harus mengosongkan kolam penampung yang berisi air dengan radioaktivitas rendah untuk menampung limpahan air yang sangat radioaktif tersebut.
Tepco meyakinkan, pembuangan air yang jumlahnya cukup untuk memenuhi empat kolam renang ukuran olimpiade itu tak sampai membahayakan kehidupan di laut. Tingkat radiasi air yang dibuang ke laut tercatat sekitar 500 kali batas normal.
Saat mengumumkan pembuangan itu, juru bicara Tepco meminta maaf kepada rakyat Jepang. ”Kami telah menyebabkan kesulitan yang besar bagi warga setempat. Kami tidak dapat mengungkapkan betapa kami sangat menyesal melakukan hal ini,” katanya.
Sekretaris Kabinet yang berperan sebagai juru bicara Pemerintah Jepang, Yukio Edano, menambahkan, ”Kami tak punya pilihan selain membuang air terkontaminasi radioaktif ke laut sebagai langkah pengamanan.”
Tepco menjelaskan, upaya mendinginkan teras reaktor membuat air yang sangat radioaktif terkumpul di bangunan turbin, terutama di reaktor Unit 2. ”Pembuangan air yang berada di kolam penampungan sangat mendesak untuk menampung tambahan air ini,” demikian pernyataan Tepco.
Kontaminasi radiasi telah ditemukan di udara, tanah, dan air di sekitar PLTN. Dalam konsentrasi yang lebih kecil, ditemukan pula sayuran, susu, daging, dan terakhir jamur shiitake yang terkontaminasi radiasi.
Pekerja menggunakan larutan garam berwarna putih untuk menelusuri jejak kebocoran air yang radioaktif ke laut. Retakan pada terowongan bawah tanah untuk perawatan yang ditemukan akhir pekan lalu mengonfirmasi air yang radioaktif telah bocor ke lingkungan sekitarnya.
Kebocoran ini menegaskan kesulitan utama upaya pemulihan PLTN, yaitu air radioaktif menggenang di sekeliling reaktor dan menghalangi pekerja untuk memulihkan sistem pendingin.
Upaya pemulihan krisis kini dibantu 1.000 insinyur perusahaan General Electric (GE) dari Amerika Serikat, yang merancang keenam reaktor di Fukushima Daiichi.
Direktur Utama GE Jeffrey Immelt dalam kunjungannya ke Jepang mengatakan, para insinyurnya bekerja sama untuk menganalisis masalah tersebut. Immelt juga menawarkan bantuan untuk mengatasi kekurangan daya listrik akibat kerusakan sejumlah PLTN. Jepang diprediksi kekurangan sedikitnya 10 juta kilowatt pada musim panas mendatang.
Protes
Krisis nuklir di Jepang ini telah memicu protes dan penolakan dunia terhadap pemanfaatan energi nuklir. Gugatan yang muncul mempertanyakan keamanan dan keselamatan PLTN.
Kepala Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Yukiya Amano dalam konferensi keamanan nuklir yang dihadiri 72 negara di Vienna, Austria, Senin, mengingatkan peserta bahwa sektor industri menyepelekan kekhawatiran ini. ”Kita tak bisa menjalankan pendekatan ’semua berjalan seperti biasa’,” katanya.
Amano mengatakan, krisis di Jepang menjadi tantangan besar dan memiliki implikasi luas untuk pemanfaatan energi nuklir. ”Kekhawatiran jutaan warga dunia soal keamanan energi nuklir harus menjadi perhatian serius,” ujarnya.
Amano mengatakan, akhir tahun lalu lebih dari 60 negara anggota IAEA merencanakan pemanfaatan tenaga nuklir. Namun, kecelakaan nuklir di Fukushima membuat mereka meninjau kembali rencana ini.
Jerman mengumumkan akan menutup reaktor tua, sedangkan Swiss dan China menunda izin reaktor baru. Taiwan tengah mempelajari untuk mengurangi ketergantungan mereka pada energi nuklir. (AP/AFP/WAS)

0 komentar:

Posting Komentar

Search Engine

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites