Sabtu, 07 Mei 2011

Memburu Salju Musim Gugur


Perjalanan ini membawa saya menelusuri jalur kereta api Skandinavia dari Stockholm, Swedia menuju Narvik, Norwegia. Cerita ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Selamat mengikuti!
Beberapa perjalanan udara, darat dan air membawa saya ke kota keberangkatan Stockholm di Swedia, yang berpenduduk 1,2 juta jiwa. Bis yang membawa saya dari Kopenhagen, Denmark, berhenti di Cityterminalen pada waktu subuh. Hari sangat gelap. Suhu yang berkisar 0-10°C (masih terhitung hangat) dan angin menusuk dan menembus kulit.

Saya lihat dompet. Beruntung, saya sempat menukarkan sisa krona Denmark ke krona Swedia. Saya pun mampir ke Pressbyrån, sebuah toko kecil serba ada, untuk membeli sarapan roti isi dan segelas susu hangat bagi tubuh yang kelaparan ini.

Jadwal selanjutnya, mencari hostel di bilangan Södermälarstrand, daerah yang cukup sentral di kota Stockholm.

Perjalanan dengan kereta bawah tanah untuk satu zona mencapai 40 krona Swedia atau sekitar Rp 52 ribu. Ini tergolong mahal, apalagi setelah saya menyadari bahwa jarak yang ditempuh cukup dekat — hanya sekitar tiga stasiun.

Setelah beberapa kali salah jalan dan bertanya, akhirnya saya sampai di hostel yang dibangun dari kapal bermesin uap yang sudah tak aktif, tapi masih mengapung di dermaga.

Sejauh mata memandang dari dalam “dek” hostel, saya melihat lanskap kota di seberang Teluk Riddarfjärden: Stadshuset, dewan kota dengan menara bermahkotakan simbol negara The Three Crowns.



Central Station mendampingi di sebelah timurnya, dengan latar distrik Norrmalm, pusat kota modern Stockholm saat ini. Setelah itu, pandangan dengan mudahnya beralih ke bangunan- bangunan tua di Gamla Stan, atau secara harfiah berarti kota tua.

Jika biasanya kota-kota di dunia hanya memiliki marka “semu” yang memisahkan daerah- daerahnya, maka Stockholm memiliki marka nyata: air. Kota ini terdiri dari sekian pulau yang dihubungkan jembatan. Gamla Stan terletak di jantungnya, di sebuah pulau kecil yang menjadi cikal bakal kota Stockholm lebih 700 tahun yang lalu.

Tak ubahnya seperti Kota Tua di Jakarta, Gamla Stan memiliki banyak sekali struktur bangunan yang masih mempertahankan keasliannya sejak zaman pertengahan.

Tata letak jalan-jalannya pun masih menyerupai zaman itu. Organik, seperti labirin dan sempit. Tak semua jalan itu bisa dilalui kendaraan bermotor. Selain karena daerah konservasi, kebanyakan juga terlalu sempit untuk dilalui.



Adalah mudah untuk tersasar di Gamla Stan, namun mudah juga untuk menikmatinya. Beberapa jalan utama padat dengan turis, tapi banyak jalan-jalan “tikus” yang membawa kita ke sisi “halaman belakang”. Beberapa ruas jalan memang memiliki kesan sebagai jebakan turis, yang tersembunyi dan lebih menarik.

Ada toko buku kecil yang menjual buku-buku fiksi berbahasa Swedia dan Inggris. Di sisi lain, ada toko yang menjual peta dan gambar kuno. Jika jeli, Anda juga akan menemukan restoran yang terletak cukup tersembunyi yang menawarkan pengalaman kuliner lebih asli dan tenang.

Jika Anda ingin mencoba köttbullar, sajian gilingan daging (bakso) ala Swedia yang dilengkapi dengan kacang polong dan kentang tumbuk, coba sambangi salah satu tempat makan di sini, walau mungkin bukan dalam harga yang terbaik.

Stockholm menobatkan dirinya sebagai ibukota budaya dari Skandinavia, sebuah wilayah yang mencakup Denmark, Norwegia dan Swedia. Kota ini memiliki lebih dari 100 museum yang tersebar di berbagai penjuru kota. Rasanya tak salah jika dikatakan penduduk Stockholm punya obsesi terhadap museum, karena hampir setiap topik atau tema dijadikan museum!


Di Stadmuseum contohnya, ada pameran mengenai isi dapur penghuni kota Stockholm, sampai studi material yang digunakan dalam interior dapur. Berbagai topik menarik disajikan di masing-masing institusinya: dari maritim, seni abad pertengahan dan kontemporer, musik, hingga militer dan sejarah.

Pulau Djurgården, salah satu tujuan utama di Stockholm, merupakan pintu dari Kongligen nationalstadsparken, atau Royal National City Park. Di sana terdapat sekitar 20 museum. Saya sempatkan menikmati beberapa museum di pulau ini, terutama Vasamuseet, sebuah museum yang menunjukkan kedekatan masyarakat Swedia dengan budaya maritim. Tema utama museum ini adalah sebuah kapal perang dari zaman pertengahan yang dievakuasi dari perairan kota.

Raja Swedia pada saat itu, Gustavus Adolphus (1594–1632), memerintahkan anak buahnya untuk membuat beberapa kapal perang besar yang bertujuan menegaskan eksistensi kekuatan kerajaan Swedia di negara-negara Laut Baltik.

Ketika itu, Swedia sedang gencar-gencarnya berperang dengan Polandia, dan merasa cemas dengan perkembangan Perang Tiga-Puluh Tahun di Jerman. Selain itu, Swedia juga merasa khawatir dengan musuh bebuyutannya, Denmark, yang akan mendominasi lalu lintas di daerah Baltik.



Salah satu kapal utama dinamakan Vasa, dan direncanakan memimpin empat kapal lain. Kapal ini paling besar dan kuat. Namun pada hari perdana berlayar, 10 Agustus 1628, kapal ini tenggelam tak jauh dari pulau Djurgården setelah memulai pelayaran dari tempat pembuatannya di Skeppsgarden, dekat Gamla Stan. Kapal ini diduga tenggelam karena konstruksi yang kurang baik, serta beban berlebih.

Kapal menjadi tidak stabil dan terpaan angin mengakhiri riwayatnya. Sedihnya, sebagian besar personelnya juga terpaksa berakhir hidupnya.

Dua jam di museum ini membuat saya mengapresiasi bagaimana masyarakat Swedia menghargai sejarahnya, dan yang lebih penting lagi, memonumenkan kesalahan manusianya. Siapakah dari kita yang mau memuseumkan kesalahan untuk dipelajari?

Walau belum puas berkeliling Stockholm, saya harus melanjutkan perjalanan dengan agenda utama: petualangan kereta api memburu salju musim gugur. Menumpang kereta malam, saya berangkat ke Östersund, sebuah kota di negeri Jamtland, sekitar tujuh jam perjalanan ke arah barat laut Stockholm.

0 komentar:

Posting Komentar

Search Engine

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites